"Mas, jane ki ngeker opo? Aku ituk ndelok, mas?" (Mas, sedang meneropong apa? Saya boleh lihat, mas?) sebuah pertanyaan dengan logat jawa kental terdengar dari arah samping ketika saya sedang asik memotret sunset di pinggir sawah. Di sebelah saya berdiri seorang petani tua dengan topi hitam dengan sebuah pacul dan ember kecil dipanggul di bahu kanannya. Dari penampilannya saya tahu kalau dia baru saja dari sawahnya. Rasa bingung terpancar dari wajahnya yang berwarna hitam legam akibat terlalu lama terpapar sinar matahari. Petani tua tersebut penasaran dengan apa yang sedang saya lakukan. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya saya lihat dari balik benda berwarna hitam yang saya pegang. "Saget, mbah," jawab saya dalam Bahasa Jawa halus.
Kalau dikunjungan sebelumnya saya numpang salat Subuh di Masjid Agung Jawa Tengah dan mendapat hadiah sunrise yang luar biasa (Menanti Sang Surya di Masjid Agung Jawa Tengah), kemarin saya bermaksud ingin salat Duhur saja dan bonusnya saya bisa masuk ke dalam Tower Al Husna. Sebelumnya setiap kali saya ke sini, tower ini selalu saja tertutup rapat, antara saya datang kepagian atau terlalu malam. Tower Al Husna memiliki tinggi 99 meter yang melambangkan 99 asmaa'ul husna atau nama-nama baik Allah. Melalui tower ini, kita bisa melihat pemandangan Kota Semarang dari atas. Selain itu, di lantai dua dan tiga tower ini terdapat Museum Perkembangan Islam di Jawa Tengah.
Memang tidak berlebihan apabila Dieng Plateu mendapat julukan sebagai "Negeri di Atas Awan." Posisinya yang tinggi, 2000 mdpl, membuat Dieng memiliki suhu dingin, sekitar 12-20 derajat C pada siang hari dan 6-10 derajat C pada malam hari. Bahkan kadang hampir mendekati 0 derajat saat dini hari. Maka tak heran saya menggigil hebat ketika sampai di Balai Desa Patak Banteng pada pukul setengah dua pagi. Pakaian yang rapat dan tebal tak serta merta membuat tubuh menjadi hangat. Akhirnya saya merapat di depan sebuah anglo dengan bara menyala di atasnya bersama penduduk lokal yang menjaga motor sekaligus menjadi juru parkir agar badan kembali hangat.
"Summer is coming," begitu pikir saya saat melihat matahari yang sudah mulai rutin menyinari bumi Salatiga beberapa hari belakangan. Hujan deras yang mengguyur Salatiga minggu sebelumnya seperti sebuah sisa-sisa yang memang harus ditumpahkan. Dalam angan liar saya, matahari mulai jengah menunggu giliran untuk tampil sehingga dengan tak sabar memaksa hujan untuk segera menyelesaikan tugasnya. Dengan begitu matahari bisa dengan leluasa menyebarkan sinarnya tanpa halangan awan hitam yang biasanya sudah apel sejak pagi hingga petang.
Gunung Merapi mempunyai andil yang sangat besar dalam menyembunyikan candi-candi di sekitar Yogyakarta. Letusannya yang dahsyat dan muntahan materialnya yang banyak tidak sengaja mengubur budaya dan sejarah daerah yang dilaluinya. Banyak candi ditemukan terkubur di dalam tanah tertutup muntahan Gunung Merapi. Candi Sambisari adalah salah satunya. Candi ini ditemukan bulan Juli 1966 secara tidak sengaja oleh seorang petani yang sedang menggali di sebuah lapangan. Dari temuan itulah lantas diketahui kalau seluruh bangunan candi ini terkubur di dalam tanah.