Kilau Curi Buthak yang Menyegarkan

07.46.00

Kolam di Curi Buthak

Seakan menemukan oase di tengah padang pasir, senyum saya mengembang tatkala melihat sungai yang kami cari tersembunyi di belakang bebatuan besar. Di depan saya terhampar sebuah kolam air berwarna hijau seperti warna batu akik bacan yang sedang populer saat ini. Kerongkongan yang sebelumnya kering setelah berjalan menuruni lanskap tanah bebatuan mendadak hilang begitu tangan ini menyentuh segarnya air sungai. Saat itulah saya merasa seperti seekor kadal iblis berduri atau Moloch Horridus yang bisa menyerap air melalui pori-pori di kakinya.

Oecil sedang selfie di depan kolam
Oecil sedang selfie di depan kolam (dok.pri.)

Untuk mencapai tempat ini, kami harus memarkir sepeda motor di pinggir jalan lalu berjalan menuruni tanah bebatuan yang dipenuhi dengan daun besar kering yang berserakan. Oecil sebagai pemandu kami berjalan di depan sambil mencari jalan menuju sungai. Menurutnya jalan setapak yang dulu terlihat jelas kini sudah tertutup rumput karena memang jarang orang berkunjung ke sini. Suara gemericik air mendominasi sambil sesekali terdengar bunyi kicauan burung dari sela-sela ranting pepohonan ketika saya dan dua teman sampai di bibir sungai. Tempat ini begitu sunyi dan tenang padahal letaknya tidak begitu jauh dari jalan utama. 
Curi Buthak, batu yang menurut legenda berasal dari kotoran ayam Cinde Laras
Curi Buthak, batu yang menurut legenda berasal dari kotoran ayam Cinde Laras (dok.pri)

Di depan kami terdapat sebuah batu runcing yang menjulang dengan tinggi hampir 100 meter yang berada persis di sebelah jurang. Batu tinggi nan curam tersebut dikenal dengan sebutan Curi Buthak. Curi mempunyai arti Batu, sedangkan Buthak berasal dari kata buthek yang berarti kotor. Jadi, Curi Buthak mempunyai arti batu yang kotor. Warnanya memang tidak bersih, atau cenderung gelap tapi tidak kotor.

Tiga petualang
 Kami bertiga selfie di depan kolam (foto oleh Oecil)

Bagi penduduk di Desa Dadap Ayam, Curi Buthak bukanlah batu biasa. Ada sebuah cerita legenda yang mengawali bagaimana terjadinya Curi Buthak tersebut. Dalam legenda tersebut diceritakan bahwa Curi Buthak berasal dari kotoran ayam milik Cinde Laras yang menumpuk karena ayam tersebut selalu tidur bertengger di sebuah pohon mangga di pinggir jurang. Setelah bertahun-tahun, kotoran ayam tersebut mengeras dan terbentuklah Curi Buthak yang sekarang ini menjulang angkuh di depan kami. Selain itu, Curi Buthak juga terkenal dengan pohon mangga yang kerap berbuah saat musimnya dan siapapun bisa mengambil mangga tersebut sesukanya.

Oecil terjun bebas ke kolam
Oecil terjun bebas ke kolam (dok.pri)

Bagi kami air tenang tidak menghanyutkan, tapi menggiurkan. Kami tergiur dengan kesegaran yang ditawarkan oleh kolam air sungai di depan kami. Dengan cekatan Oecil sudah merambat di sebuah batu besar di bibir sungai, berusaha untuk naik ke atas batu bermaksud terjun ke dalam kolam dari atas batu. Dalam hitungan detik dia sudah berdiri di atas batu bersiap untuk terjun. Sebagai seorang pemanjat tebing saya tidak heran dia bisa melakukannya secepat itu. Memanjat sudah menjadi semacam hobi baginya. Jari jemarinya dengan kuat mencengkeram rongga-rongga batuan. Sebaliknya, Kang Wasis masih berusaha untuk mencari jalan sambil memastikan pijakannya kuat agar tidak jatuh ke air dangkal di pinggir sungai.

Kang Wasis terjun bebas ke kolam
Kang Wasis terjun bebas ke kolam (dok.pri.)

Sampai di atas batu besar, Oecil yang mendapatkan kesempatan pertama untuk terjun ke air. Tinggi tempat kami terjun dengan kolam mungkin sekitar 3 meter, tidak terlalu tinggi, tapi cukup membuat jantung berhenti berdetak sebentar. Satu persatu kami terjun ke dalam air secara bergantian. Air membumbung tinggi ke angkasa bersamaan dengan jatuhnya badan kami. Rasa lelah setelah perjalanan ditebus dengan kesegaran air sungai. Saat terjun itulah saya sadar kalau kolam tersebut cukup dalam. Saya bahkan tidak mencapai dasarnya dari kolam. Air kolam yang sebelumnya tenang kini bergejolak menimbulkan riak karena ulah kami bertiga. Melakukan hal yang menyenangkan memang selalu membuat ketagihan. Setidaknya kami melakukan terjun bebas hingga lima kali.
 
Saya terjun bebas ke kolam
Giliran saya yang terjun bebas ke kolam (foto oleh Oecil)

Kami mengakhiri aksi jeguran dan memutuskan untuk menyusur sungai sebelum pulang. Dalam benak saya terbersit pertanyaan dari mana batu-batu besar yang ada di sepanjang sungai ini berasal. Pastinya tidak mungkin semua batu ini berasal dari kotoran ayam Cinde Laras seperti dalam legenda, kan? Kalau kotorannya sebesar itu, kira-kira sebesar apa ayam Cinde Laras? Atau berapa lama ayamnya harus pup agar bisa menghasilkan bebatuan berdiameter sekitar 3-5 meter? Ah, mungkin hanya Cinde Laras yang tahu.

Update dari Erfix:

Kilau Curi Buthak yang menyegarkan ternyata menyimpan cerita selain Cinde Laras. Kabarnya di tempat ini pernah terlihat sebuah buaya air tawar. Ukurannya memang tidak besar, tapi tetap saja berbahaya apabila tiba-tiba datang dan menggigit. Buaya sering tertarik dengan permukaan air yang bergejolak. Karena itu, apabila ingin bermain air di kolam ini, tetap saja waspada. Buaya hanya salah satu dari banyaknya binatang liar terlihat di sekitar tempat ini. Kabar lain yang saya terima, di dalam kolam ini terdapat sebuah palung yang dalam. Saya baru mengetahui bahwa sebulan sebelum kedatangan saya, ada orang yang meninggal karena terjepit di palung tersebut setelah terjun dari batu. Ingat bahwa kita tidak bisa menaklukkan alam, lebih baik berdamai dengannya untuk bisa menikmati keindahannya. Be wise!

You Might Also Like

2 komentar