Mengintip Sang Fajar dari Gunung Telomoyo

16.48.00

Pemandangan matahari terbit dari puncak Gunung Telomoyo

Selain Merbabu, Gunung Telomoyo menjadi penyapa kala pagi tiba. Sayangnya tak seperti Gunung Merbabu yang sudah beberapa kali saya jamah, tak sekali pun saya menyempatkan diri untuk menjejakkan kaki di gunung yang memiliki tinggi 1.894 mdpl ini. Berbeda dengan Merbabu yang memang butuh fisik dan mental yang kuat untuk bisa menaklukkannya, kita bisa menaklukkan Gunung Telomoyo dengan kendaraan roda dua atau empat. Entah malas dengan kemudahan tersebut atau malas untuk ke sana alasan saya tak pernah mengunjunginya. Padahal sebenarnya saya penasaran bagaimana puncak gunung yang khas dengan tower-towernya ini.
 
Akhirnya kesempatan itu datang. Pagi-pagi sekali saya sudah berdiri di pinggir jalan menunggu teman datang. Kami berencana untuk melihat Sang Fajar menetas dari cangkangnya di ufuk timur dari atas Gunung Telomoyo. Tak berapa lama teman saya pun datang.

Sahabat petualang saya sedang mengabadikan keindahan merbabu
Sahabat petualang saya sedang mengabadikan keindahan merbabu

Kami berdua menembus dingin pagi mendahului mentari. Jaket tebal yang membalut tubuh saya tak kuasa menahan hawa dingin Salatiga pagi itu. Gigi saya bergeretakan sepanjang perjalanan. Tangan saya kebas karena kedinginan. Hanya angan-angan secangkir kopi panas dan roti bakar sembari melihat mentari pagi yang kiranya membuat kami tak menghiraukan dingin yang menusuk hingga rusuk.

Dingin bukanlah satu-satunya tantangan yang harus kami lalui. Aspal yang rusak sepanjang jalan menuju puncak Gunung Telomoyo membuat kami harus berhati-hati saat mengendarai sepeda motor. Di saat yang sama, kami juga harus berpacu dengan waktu. Sepanjang perjalanan kami berseru mengucap doa agar sampai di atas tepat waktu. Kami berharap bisa tiba sebelum Sang Fajar datang.

Para pemuda yang sedang berpose dengan latar mentari
Para pemuda yang sedang berpose dengan latar mentari
 
 
Sampai di atas, ternyata kami bukanlah orang pertama di sana. Segerombolan remaja sudah sampai di sana berfoto dengan latar semburat kuning di ujung horison. Mereka sibuk menuliskan pesan di atas kertas yang akan digunakan untuk berfoto. Pesan di kertas tersebut seringkali ditujukan kepada orang yang disukai. Sebuah tren yang sedang digandrungi anak-anak remaja jaman sekarang. Sayangnya, banyak dari mereka yang tidak membawa pulang kertas pesan mereka. Seringkali kertas-kertas itu dibuang sembarangan dan menjadi sampah di atas gunung. Begitu pula dengan para remaja yang kami jumpai. Kalau kami tidak memperingatkan mereka, sudah pasti kertas-kertas tersebut dibiarkan saja di sana.
 
Dingin masih saja belum hilang padahal mentari sudah mulai bergeliat dari balik cakrawala. Cahayanya yang memancar perlahan bak seorang tokoh utama yang akan keluar dari balik tirai di panggung hiburan. Mentari memanglah aktor utama yang kami tunggu. Kami adalah penonton setia yang sedang menunggu kemunculannya. Kamera kami sudah siap dari tadi. Malahan, kami sudah beberapa kali mengambil foto sebelum kedatangan mentari.

Gunung Merbabu tampak angkuh tapi memesona
Gunung Merbabu tampak angkuh tapi memesona
 
Lanskap yang membentang di bawah kami perlahan-lahan terlihat jelas seiring dengan kemunculan Sang Fajar. Tak hanya keindahan yang dibawanya, tapi juga kehangatan. Dingin merayap lenyap, begitu juga dengan kegelapan. Langit tak beda dengan bunglon yang bisa berganti warna, dari hitam pekat kini menjadi biru cerah.

Seorang pengendara yang sedang beristirahat sambil menikmati pemandangan Gunung Sundoro dan Sumbing
Seorang pengendara yang sedang beristirahat sambil menikmati pemandangan Gunung Sundoro dan Sumbing

Di depan kami sekarang menghampar gambaran bukit-bukit dan gunung-gunung di kejauhan. Dari sini Gunung Merbabu tetap saja terlihat angkuh berdiri dan memesona di waktu yang sama. Lekuk-lekuknya yang tegas seolah memperlihatkan betapa kokoh dan lamanya dia berdiri di sana laksana kerutan dan tulang pipi yang menonjol di wajah orang-orang berusia setengah abad. Sedangkan Gunung Lawu hanya terlihat puncaknya yang kecil di kejauhan. 
 
Tak lengkap rasanya keindahan ini bila tak dinikmati tanpa secangkir kopi. Dengan cekatan, teman saya menghidupkan kompor spirtus dan memasak air untuk membuat dua cangkir kopi. Tak lupa juga dengan roti bakar yang menjadi teman secangkir kopi. Betapa sederhananya kesenangan pagi ini, menikmati kopi dan roti bakar sambil menonton Sang Fajar merangkak dari ufuk timur. Bahagia itu sederhana, bukan? 

Menunggu air masak
Menunggu air masak

You Might Also Like

4 komentar

  1. Seru banget...ngopi di gunung

    BalasHapus
    Balasan
    1. coba saja sekali-sekali. asik banget kok. :)

      Hapus
  2. wah ada fotonya ucil... salam kenal, mas

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal, mas.
      Iya, mas, Ucil memang di mana-mana ada. hehe

      Hapus