Memburu Api Biru Kawah Ijen

19.25.00

Memburu Api Biru Kawah Ijen Banyuwangi

Tepat pukul 00.30 dini hari, alarm hp berbunyi nyaring menggugah kami dari tidur singkat. Pegal-pegal setelah terkungkung lama di dalam kotak beroda empat selama perjalanan dari Salatiga sampai di Blawan, Paltuding, Jawa Timur belum benar-benar lenyap, tapi kami tetap harus bangun untuk berkemas. Saat semua perlengkapan sudah masuk di dalam tas, kami pun bergegas keluar dari home stay yang menurut teman-teman cukup seram. Bentuknya yang bergaya lama seperti bangunan peninggalan masa Belanda dan kondisinya yang memang jarang ditempati membuat rumah kecil ini terkesan singup. Terlepas dari kesan itu, rumah kecil ini sangat nyaman untuk ditempati dan fasilitasnya pun sangat lengkap.

Pukul 01.30 WIB kami meluncur menuju base camp Kawah Ijen yang terletak sekitar 20 menit menggunakan mobil dari Catimor - tempat kami menginap. Suasana sudah ramai saat kami tiba. Mobil dan sepeda motor berjejalan di tempat parkir yang disediakan. Bahkan sampai meluber di pinggir jalan. Gunung-gunung saat ini memang sedang menjadi salah satu destinasi idola anak muda. Ditambah lagi saat itu adalah akhir pekan plus hari libur anak sekolah, jadi ya pasti sangat padat. Saya cuma berharap agar tidak terjadi kemacetan saat melakukan pendakian dan para pengunjung tidak membuang sampah sembarangan seperti saat di Gunung Andong dan Gunung Prau.



Badan saya sedikit menggigil saat baru saja keluar dari mobil. Namun cuaca pagi yang dingin tak menyurutkan para penjual menjajakan minuman dan makanan hangat dari dalam warungnya. Mereka dengan sigap menawari kami makanan dan minuman untuk menghangatkan badan sebelum naik ke Kawah Ijen. Kami menolak halus sembari berjalan menuju ke base camp Kawah Ijen untuk menebus tiket masuk seharga lima ribu untuk satu orang. Dan sekarang kami pun siap untuk memburu api biru Kawah Ijen.


Para pengunjung yang sudah datang sejak dini hari untuk melihat Api Biru
Para pengunjung yang sudah datang sejak dini hari untuk melihat Api Biru (dok.pri)

Kawah Ijen adalah sebuah kawah yang terletak di puncak Gunung Ijen Banyuwangi dengan ketinggian 2.443 mdpl. Di dalamnya terdapat sebuah danau bersifat asam. Dengan luas kawah mencapai 5.466 hektar dan memiliki kedalaman hingga 200 meter, tak heran jika Kawah Ijen merupakan salah satu dari danau bersifat asam terbesar di dunia. Menariknya, asam itulah yang memberikan warna hijau pada air danau Kawah Ijen. Asam tersebut berasal dari gas belerang dari bibir danau yang bereaksi dengan air di dalam danau.

Selain danau asam, Kawah Ijen juga mempunyai sebuah fenomena yang menjadi daya tarik utama. Fenomena ini lebih dikenal dengan sebutan Blue Fire atau Api Biru. Sesuai dengan namanya, Blue Fire merupakan api biru yang berasal dari pembakaran gas belerang. Saat menyala, Blue Fire bisa mencapai ketinggian 5 meter dan hanya bisa dilihat saat dini hari sampai sekitar pukul 4 pagi. Itulah alasan mengapa kami bergegas naik ke Kawah Ijen dini hari.

Kami mulai menapaki jalan Kawah Ijen yang sudah menanjak dari awal. Tidak seperti jalur pendakian pada umumnya yang terkesan kecil, terjal dan berundak-undak, jalur pendakian Kawah Ijen sudah mulus dan lebar. Ini merupakan jalur pendakian paling mudah yang pernah saya lalui. Jalur ini memang sengaja dibuat lebar dan mulus untuk memudahkan para penambang belerang membawa hasil tambang belerang menggunakan kereta dorong dari atas ke bawah. Pun begitu, teman saya yang baru pertama kali naik gunung tetap saja ngos-ngosan.

Pemandangan Gunung Raung dan Gunung Merapi dari Kawah Ijen
Pemandangan Gunung Raung dan Gunung Merapi dari Kawah Ijen (dok.pri)
Keberuntungan memang sedang berpihak kepada kami malam itu. Malam itu langit sangat indah dan bersih dari awan. Padahal sebelumnya hujan kerap mengguyur kami saat berada di perjalanan. Bulan bersinar sangat terang hingga saya tidak perlu menggunakan senter untuk menerangi jalan. Belum lagi ribuan bintang gemintang yang juga turut memperindah langit malam itu. Beberapa kali saya menengok ke belakang dan mendapati Gunung Raung dan Gunung Merapi memamerkan liukan lekukannya dalam siluet.

Kami sampai di bibir kawah pukul empat pagi. Dari tempat kami berdiri, beberapa kali kami melihat api biru menari-nari di antara kepulan asap belerang yang pekat. Untuk melihat lebih dekat, kami harus turun ke dalam kawah. Tapi rasanya tak akan sempat bagi kami untuk melihatnya apalagi mengambil gambar saat sampai di bawah jika melihat padatnya jalur turun ke dalam kawah dan gelap malam yang perlahan menghilang. 

Blue Fire sebenarnya tidak benar-benar menghilang setelah pukul empat pagi. Ia tidak seperti pekerja kantoran yang punya waktu kapan harus absen datang dan pergi. Ia sebenarnya tetap ada di sana sepanjang waktu. Hanya saja, begitu mentari meninggi, cahaya Api Biru kalah beradu sehingga ia seakan padam dan tak terlihat lagi.

Seorang penambang belerang Kawah Ijen sedang memikul keranjang berisi belerang
Seorang penambang belerang Kawah Ijen sedang memikul keranjang berisi belerang (dok.pri)
 

Asap dari retakan di bibir danau mengepul dan membumbung tinggi ke angkasa. Bau belerang menjadi satu-satunya bau yang mendominasi di sini. Walaupun tidak pekat, tetap saja baunya menembus masker tipis yang saya kenakan. Ucil menyarankan saya untuk menyewa sebuah masker seharga dua puluh lima ribu dengan filter di sisi kanan dan kirinya. Saya pun mengiyakan walau mungkin sedikit percuma karena tak tahu kapan terakhir kali mereka mengganti filternya. Akhirnya saya pun membawanya untuk berjaga-jaga.

Sepanjang perjalanan turun ke dalam kawah, kami berpapasan dengan para panambang belerang. Mereka turun ke dalam kawah dan kembali ke atas memanggul dua keranjang penuh berisi belerang hingga 80 kg dalam sekali angkut. Biasanya dalam sehari mereka bisa menambang hingga dua kali saja dikarenakan pekerjaannya yang sangat berat. Sayangnya kerja keras mereka tidak berbanding lurus dengan hasil yang didapatkan. "Satu kilo dihargai seribu, mas," jawab seorang penambang ketika saya tanya. Karena harganya yang murah itulah, beberapa penambang kreatif membuat suvenir dari belerang dan menjualnya dengan harga lima ribu rupiah.

Belerang dalam bentuk suvenir lebih berharga mahal dibandingkan harga jual belerang kiloan
Belerang dalam bentuk suvenir lebih berharga mahal dibandingkan harga jual belerang kiloan (dok.pri)
 

Pesona Blue Fire Kawah Ijen tidak hanya menarik wisatawan lokal, tapi juga wisatawan mancanegara. Saya sempat berbincang-bincang dengan orang Perancis yang sengaja datang untuk melihat keindahan Kawah Ijen. Mereka sangat kagum dengan Api Biru yang memang cukup langka dan sangat senang bisa menyaksikannya secara langsung.

Mentari sudah muncul dari balik puncak Gunung Ijen. Kami pun memutuskan untuk meninggalkan Kawah Ijen. Teman saya yang tadinya cukup kelelahan saat naik, kini sangat bersemangat saat turun gunung. Keelokan yang disajikan Kawah Ijen tidak hanya saat pendakian saja, tapi juga saat menuruni gunung. Kami dihadapkan dengan kegagahan Gunung Raung, Gunung Merapi serta Kawah Wurung yang sebelumnya hanya tergambar dalam bentuk siluet. Dengan keindahan alam yang ditawarkan seperti ini, tak heran kalau teman saya mengajak untuk kembali berkunjung ke sini suatu saat nanti. 


PS: Bagi yang penasaran dengan Blue Fire Kawah Ijen, di bawah ini saya sertakan foto yang saya ambil dari natgeo. Kredit foto tertera.

Blue Fire Kawah Ijen Banyuwangi
Photograph by Olivier Grunewald

You Might Also Like

0 komentar