Liak-Liuk Penandak Joged Bumbung
12.02.00
Sepasang kaki lincah menuruni anak tangga dengan ukiran naga di kedua
tangan tangga. Tubuhnya berbalut busana tradisional Bali berwarna terang.
Rambutnya panjang tergerai hingga sebatas pinggang. Tangan dan badannya meliuk
gemulai mengikuti irama tabuhan para pengiring di sisi kiri panggung. Matanya
tajam melirik ke kanan dan ke kiri. Senyum simpul sesekali menghiasi wajah nan
ayu sang penari.
Tiba di pelataran panggung, riuh tepuk tangan para penonton membahana.
Sang penari yang sudah lama ditunggu akhirnya tiba. Sejurus kemudian para
penonton termasuk saya dengan sigap mulai membidikkan kamera. Kini suara shutter
kamera bersaing dengan instrumen memenuhi udara.
Tabuhan gamelan menjadi pengiring penari Joged Bumbung. Irama dan ritme gamelan turut menjadi penentu ritme penari Joged Bumbung. |
Joged Bumbung, begitu MC memperkenalkan bersamaan dengan penari yang
semakin asyik menandak tenggelam dalam irama tabuhan. Joged Bumbung adalah
tarian pergaulan yang dulunya dilakukan untuk menghibur petani yang sedang
beristirahat mengolah sawah. Joged yang berasal dari Buleleng, Bali ini kemudian
berkembang ke daerah lain karena diminati oleh banyak orang.
Pada perkembangannya, Joged Bumbung sempat menjadi kontroversial dan
mendapat julukan lain, Joged Porno. Hal ini tidak lain dikarenakan ngegol
atau goyangannya yang cukup "panas". Ini adalah cara dari sekaa (kelompok)
untuk bertahan dan bersaing dengan sekaa dari banjar lain.
Alasannya Joged Bumbung dengan goyangan panas lebih banyak diminati.
Namun Joged Bumbung yang saya saksikan sore itu di Art Center, Denpasar
sama sekali tidak menampilkan ngegol yang "panas". Tubuh
para penari memang meliak-liuk, tapi masih dalam tahap yang wajar. Pun saat
para pengibing yang dipanggil MC secara bergiliran menari dan menggoda penari
Joged Bumbung. Mereka tetap menari dengan gerakan yang wajar. Terlihat sesekali
gerakan dan sapuan manja oleh penari Joged Bumbung saat digoda atau menggoda
pengibing. Bagi saya, hal tersebut merupakan bagian dari pertunjukkan.
Walaupun tidak ada batasan umur bagi para pengibing penari Joged Bumbung, kebanyakan pengibing didominasi oleh pria dewasa. Anak laki-laki tersebut merupakan pengibing termuda di antara yang lainnya. |
Setiap penari Joged Bumbung ditemani oleh pengibing yang secara
bergiliran dipanggil oleh MC. Pengibing biasanya adalah para lelaki dari
penonton yang ingin ikut menari. Sebelumnya, mereka harus mendaftar kepada
panitia untuk menjadi pengibing. Umur tidak menjadi batasan bagi pengibing.
Namun umumnya hanya orang tua yang mau menjadi pengibing. Walaupun sore itu
saya melihat ada seorang remaja yang juga ikut menjadi pengibing. Keduanya
tampak sedikit canggung saat menari di atas panggung. Mungkin karena penari
melihat pengibing yang masih anak-anak sehingga mereka berdua tidak bisa total
menari seperti saat dengan pengibing dewasa lainnya.
Di awal acara, penari akan mengikatkan sebuah selendang ke pinggang
pengibing. Selanjutnya mereka akan menari bersama dibarengi oleh tabuhan dari
gamelan di sisi panggung. Saya jadi teringat oleh penari Ronggeng saat melihat
Joged Bumbung. Mereka mempunyai kesamaan dalam hal menari bersama pengibing.
Para pengibing akan menggoda penari berusaha menarik perhatian penari.
Sedangkan penari tampak malu-malu kucing atau kadang pura-pura kesal saat
pengibing menggodanya. Berbagai properti digunakan oleh pengibing saat menari.
Mulai dari dedaunan, hingga topeng dan kacamata rusak pun digunakan. Semua dilakukan agar
acara menjadi lebih meriah dan membuat para penonton terhibur.
Sepuluh menit adalah rata-rata waktu yang diberikan oleh pengibing saat
menari bersama penari Joged Bumbung. Tugas MC yang memberitahu kapan pengibing
harus bergantian. Pada akhir tarian, saya melihat beberapa pengibing sempat
memberikan sebuah amplop kepada penari Joged Bumbung. Memberikan amplop
bukanlah hal wajib, karena ada juga pengibing yang melenggang pergi saat
diminta untuk bergantian. Saya melihat amplop itu diberikan lebih sebagai
bentuk apresiasi karena sudah mau menari bersama. Sekali lagi saya jadi teringat
tarian Ronggeng.
Selama dua jam, empat penari Joged Bumbung tampil bergantian menandak di
atas panggung. Setiap tarian mempunyai gambaran tema dan cerita
tersendiri, seperti Layon Sari dan Sekar Sari. Hanya satu Sekaa yang
tampil sore it, yaitu Sanggar Seni Kebo Iwa. Selama dua jam duduk di depan
panggung, tak satupun saya mengerti tentang cerita dari tarian-tarian yang
ditampilkan. Di mata saya, semua tarian tampak sama. Pun dengan cerita, telinga
saya tak bisa menangkap arti satupun dari kata-kata yang diucapkan oleh MC
dalam bahasa Bali. Hanya mata saya yang bisa menikmati lenggak-lenggok penandak Joged Bumbung dan polah usil para pengibing.
0 komentar