Menyusuri Keindahan Pura Gunung Kawi

12.56.00

Kompleks Pura Gunung Kawi yang berada di sebelah Barat

Sebagai pulau yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu, Bali juga mendapat julukan Pulau Seribu Pura. Hampir di setiap sudut jalan dan di dalam rumah orang Hindu Bali dengan mudah dijumpai pura. Setiap pura memiliki arti dan nilai yang penting bagi masyarakat Hindu Bali selain sebagai tempat bersembahyang. 

Sedangkan di mata saya sebagai pengunjung, pura di Bali memiliki keunikan tersendiri jika dipadukan dengan tempat di mana pura tersebut dibangun. Pura Tanah Lot misalnya, datanglah pada waktu sore hari saat cuaca sedang cerah. Sebuah karya indah Maha Agung akan terhampar di depan mata. Sebuah pura yang terletak di atas bukit karang dengan latar belakang mentari yang hendak kembali ke peraduan. Pada saat itu langit dipulas warna kemerahan bercampur kuning dengan campuran gradasi biru. Sebuah pemandangan elok yang kerap dicari siapapun yang berkunjung ke Tanah Lot Bali. 

Tak jauh berbeda, ada juga pura lain yang mengawinkan keindahan seni dengan alam. Hanya saja kali ini tidak terletak di pantai, tidak pula mempunyai pemandangan matari tenggelam. Jika sebuah pura biasanya dibangun menggunakan batu bata merah, pura ini dipahat langsung di tebing di tepi sungai. Pura tersebut bernama Pura Gunung Kawi.


Setiap pengunjung yang akan masuk ke areal Pura Gunung Kawi diharuskan memakai kain sarung, terutama laki-laki yang memakai celana pendek. Sedangkan untuk para wanita biasanya diikatkan selendang jika memakai celana panjang. Terdapat beberapa petugas yang akan membantu untuk memakaikan sarung dan selendang tersebut. (dok.pri.)
Pura Gunung Kawi diperkirakan dibangun pada masa pemerintahan Raja Udayana hingga Anak Wungsu pada abad ke-11. Pada masanya kompleks Pura Gunung Kawi digunakan sebagai tempat pemujaan arwah Raja Udayana oleh Raja Anak Wungsu, penerusnya. Dan kini, sama seperti pura besar lainnya, Pura Gunung Kawi juga menjadi salah satu pura yang dijaga kesakralannya. 
Namun, seperti masakan tanpa garam jika tidak ada cerita rakyat atas sebuah tempat bersejarah. Layaknya Candi Prambanan atau Candi Borobudur, cerita rakyat tentang Pura Gunung Kawi juga beredar. Dalam sebuah cerita, Pura Gunung Kawi ini dibuat oleh seorang pendeta sakti bernama Kebo Iwa. Menggunakan kuku jarinya yang tajam, ia mengukir dinding batuan tebing Sungai Pakerisan ini hingga membentuk pura. Semua itu dikerjakan dalam waktu sehari semalam. Sebuah waktu yang sedikit lama jika dibandingkan pembangunan Candi Prambanan yang mitosnya dibangun dalam waktu semalam saja. Inilah sebenarnya yang menarik dari sebuah tempat bersejarah di mata saya. Cerita rakyat menjadikan tempat itu mempunyai bumbu yang membuat siapapun menjadi penasaran. Soal percaya atau tidak itu urusan belakangan. Bagi saya yang utama adalah bagaimana masyarakat lokal bisa tetap menjaga keluhuran budaya dan mengambil hikmah dari setiap cerita rakyat yang diceritakan secara turun temurun.


Pengunjung diminta untuk memercikkan air suci yang sudah disediakan di dalam guci di depan pintu masuk pura. Bagi orang Hindu Bali, seseorang harus bersih saat memasuki areal pura dan itulah kenapa mereka harus memercikkan air suci sebelumnya.
(dok.pri.)
Berbekal informasi dari internet, saya mengajak Ratri, teman saya dari Jakarta yang kebetulan juga sedang berlibur di Bali untuk mengunjungi Pura Gunung Kawi yang terletak di Tampak Siring. Jam 9 pagi kami meluncur menuju Pura Gunung Kawi dipandu oleh peta di gawai. Setelah lebih dari satu jam mengaspal dan beberapa kali salah jalan karena salah membaca arah dari peta, akhirnya kami sampai di Pura Gunung Kawi.


Tiket seharga lima belas ribu perorang kami tebus agar bisa masuk ke dalam Pura Gunung Kawi. Selanjutnya seperti aturan memasuki tempat suci di Bali pada umumnya, saya diminta untuk memakai kain sarung yang sudah disiapkan oleh pengelola setempat. Berbeda dengan saya, Ratri hanya diikat selendang pada pinggangnya. Sarung dan selendang ini adalah bentuk sebuah penghormatan bagi siapapun yang ingin memasuki area yang dianggap sakral oleh masyarakat Hindu.


Pura Gunung Kawi yang terletak di sebelah timur berjumlah lima buah. Berbeda jumlah dengan pura yang ada di sebelah barat yang hanya empat buah. Di satu sudut pura ini terdapat air suci yang mengalir dari mata air Gunung Kawi. (dok.pri.)
Selesai memakai sarung dan selendang, kami menuruni anak tangga untuk masuk ke dalam Pura Gunung Kawi. Sepanjang perjalanan di kiri kami terdapat kios-kios yang menjual kerajinan tangan dan suvenir dari kayu. Masyarakat Bali selain terkenal dengan sisi religinya, juga terkenal dengan kepiawaiannya membuat berbagai kerajinan dan barang seni. Hingga tak jarang barang-barang kerajinan sangat mudah ditemukan di mana pun.


Anak tangga yang kami lalui mengarahkan kami ke sebuah pintu masuk yang terlihat seperti sebuah batuan tebing yang diberi lubang berbentuk persegi panjang. Tak jauh dari pintu masuk, dua buah guci dari tanah diletakkan di sebelah kiri dan kanan. Sebuah tulisan mengatakan bahwa setiap pengunjung yang akan memasuki daerah Pura Gunung Kawi wajib memercikkan air suci dari guci tersebut. Kami menuruti himbauan tersebut walaupun tidak ada satu pun yang mengawasi.

Ceruk-ceruk yang terdapat di tebing sebelah utara dari kompleks Pura Gunung Kawi. Di dalam ceruk itulah biasanya para pendeta bertapa.(dok.pri.)
Memasuki areal Pura Gunung Kawi, saya sempat tertegun. Ketenangan dan kedamaian begitu terasa sejak langkah pertama melewati pintu masuk. Suara gemericik air yang membelah kawasan Pura Gunung Kawi menyambut kami. Ditambah oleh pohon beringin besar laksana payung membuat suasana tempat ini menjadi lebih teduh. Karena inilah kami datang cukup pagi di mana belum banyak pengunjung menjejali Pura Gunung Kawi.


Terdapat dua deretan pura menempel di tebing yang saling berhadapan di Pura Gunung Kawi ini. Satu deretan lima pura terukir di tebing sebelah timur. Di hadapannya empat pura berjajar di tebing sebelah barat dengan Sungai Parikesan sebagai pemisahnya.

Gemericik air mancur menjadi simfoni alam yang memecah keheningan kompleks Pura Gunung Kawi.(dok.pri.)
Seperti pura besar pada umumnya, pengunjung hanya bisa melihat pura dari bawah dan tidak boleh menaiki anak tangga. Pengelola masih tetap berusaha menjaga kesakralan Pura Gunung Kawi walaupun kini digunakan sebagai tempat wisata. Kami bertolak dari pura di sebelah timur menuju pura di sebelah barat. Di sudut kiri pura ini mengalir air yang dianggap suci yang berasal dari mata air dari dalam tanah. Masyarakat Hindu Bali menggunakan air suci ini setiap kali mereka akan bersembahyang ke pura yang kemudian akan dipercikkan ke kepala dan selanjutnya meminumnya sedikit.


Selain Pura Gunung Kawi, di sini juga terdapat Pura Taman Suci dan Pura Melanting yang terletak di sebelah utara. Pura-pura tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan Pura Gunung Kawi. Tidak hanya pura, di kompleks Candi Gunung Kawi juga terdapat ceruk-ceruk dan gua berbentuk persegi pada tebing dengan ukuran lebih kecil yang merupakan tempat untuk bertapa. Ceruk yang sama pernah saya lihat di kompleks Situs Ratu Boko bernama Goa Lanang dan Goa Wadon. Ceruk-ceruk dengan bentuk dan fungsi yang sama dan dibuat ditempat yang sama pula, batuan tebing.

Salah satu pura yang terdapat di paling ujung sebelah utara dari kompleks Pura Gunung Kawi. Di sini ceruk-ceruk pertapaan masih banyak ditemukan.(dok.pri.)
Masyarakat Bali tampaknya memang tahu benar cara memadukan keindahan alam dengan tangan manusia. Membangun pura di tempat terbaik seolah-olah mencari sebuah cara mensyukuri anugerah Sang Hyang Widhi. Mereka bisa bersembahyang dan menikmati keindahan alam secara bersamaan.

You Might Also Like

0 komentar