Bukit Lintang dalam Balutan Halimun
06.32.00"Wah, udah jauh-jauh ke sini tapi zonk, Mas," celetuk teman saya bernama Fonda ketika berada di puncak Gunung Lintang.
Putih menjadi warna dominan pagi itu. Awan tak jua menyingkap sehingga matahari terkesan enggan untuk bersosialisasi. Sejurus mata memandang kabut ikut menemani. Hujan yang mengguyur sedari subuh menjadi salah satu penyebabnya.
Walau pupus harapan kami melihat matahari terbit kala pagi, pemandangan dari puncak Gunung Lintang sudah membuat saya berdecak kagum. Walaupun disebut gunung, sebenarnya tidak terdapat kawah di sekitarnya. Sebenarnya ini adalah sebuah bukit, bukan gunung. Perbukitan kecil berwarna hijau seperti pada bukit Teletubies berada di sebelah kiri saya. Di sisi kanan barisan bukit dengan garis tebing tegas menjulang. Di depannya menghampar perkebunan sawit dan karet. Jalan yang tadi kami lalui tampak mengular di antaranya.
Sesuatu yang luar biasa kadang perlu usaha yang cukup besar untuk diraih. Mungkin itu ungkapan yang pas bagi perjalanan kami menuju Bukit Lintang. Sebuah pengalaman seru yang saya dapatkan bersama teman baru di tanah Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Pukul lima pagi saya dijemput oleh Fonda, seorang teman yang saya kenal dari instagram. Dari foto-foto yang kerap diunggahnya, saya tau jika ia tau tempat-tempat menarik di Banjarmasin. Kami sepakat untuk bertemu dua hari setelah saya tiba di Banjarmasin. Saat pertemuan itulah dia mengajak saya untuk menjelajahi Bukit Lintang bersama dua orang teman lainnya, Fajar dan Nino.
Hitam masih menjadi warna utama tatkala kami berdua meluncur menuju Bukit Lintang. Di jalan, kami bertemu dengan Fajar, teman Fonda, yang juga akan ikut dalam penjelajahan kali ini. Sedangkan Nino akan menunggu di dekat gerbang masuk menuju daerah Bukit Lintang.
Kami mengikuti satu-satunya jalur pendakian menuju Puncak Bukit Lintang yang masih sedikit tertutup kabut. Pendakian ini terkesan mudah, tapi di atas sudah menunggu kami dua tanjakan curam. |
Bukit Pelaihari terletak di daerah Pelaihari, Kalimantan Selatan. Setelah satu jam perjalanan dari Kota Banjarmasin menuju Kabupaten Tanah Laut, akhirnya sampailah kami di gerbang menuju Bukit Lintang. Di sini lah kami bertemu dengan Nino. Hujan semakin deras. Kami pun memutuskan untuk memakai mantol walau sebenarnya jaket kami sudah setengah basah.
Jajaran pohon karet yang teratur menjadi pemandangan awal saat kami memasuki hutan. Pohon karet habis, bergantian dengan kebun jagung. Lalu berganti lagi dengan kebun sawit hingga sampai di bawah kaki Bukit Lintang. Kurang lebih dua jam kami sampai di sana sejak dari gerbang.
Selama perjalanan, tidak ada plang petunjuk jalan yang kami lihat. Jarang pula kami berpapasan dengan orang lewat. Kelak kami tahu bahwa kami salah mengambil jalan. Jalan yang kami lalui lebih jauh. Padahal ada jalan yang lebih pendek dan mudah dilalui. Namun, tak selalu kesialan datang bertubi-tubi. Sisi baiknya adalah kami disuguhi pemandangan perbukitan hijau berselimut kabut.
![]() |
Sebuah tali disiapkan di tanjakan curam untuk membantu para pendaki yang ingin menuju puncak Bukit Lintang. |
Pendakian menuju puncak Bukit Lintang kami mulai setelah membereskan mantol yang tadi kami pakai sepanjang perjalanan. Kami berempat mengikuti jalan setapak satu-satunya yang mengarah ke atas bukit. Tidak ada satupun penampakan orang lain di sana. Hanya kami berempat. Tidak juga penjaga basecamp.
Awan menyibak membiarkan sederatan tebing tinggi Gunung Meratus mengintip. Rasa penasaran menjalar, membuat saya mengira-ira bagaimana lansekap disekeliling kami sebenarnya. |
Keraguan sempat bertandang kala halimun menutup puncak bukit. "Buat apa ke puncak kalau tertutup kabut dan tak bisa melihat pemandangan dari atas? Sudah sampai sejauh ini masak enggak sampai puncak?" Pertanyaan semacam itu beberapa kali terlontar. Namun langkah kami tetap teguh hingga puncak. Setelah mengatasi tanjakan terakhir akhirnya kami menjejakkan kaki di puncak Bukit Lintang.
Cucuran peluh dan rasa lelah terbayar sudah. Bentangan lansekap di depan mata layaknya oase yang menghapus dahaga saya. Segera saja kami mengeluarkan kamera lalu mengabadikannya. Merekam setiap momen untuk kemudian dibagikan ke media sosial. Bahkan Fajar langsung mengunggah foto di Instagramnya setelah terperanjak dengan kemunculan signal 4G di layar ponselnya.
Halimun datang dan pergi sesuka hati. Menampakkan bukit-bukit yang berada di horison, sedetik kemudian menyelimutinya kembali. Sama halnya dengan awan putih yang sedari pagi mewarnai langit, hanya menyisakan sebagian kecil warna biru langit. Dalam bagian kecil tersebut mengintip dinding tebing mirip pada tebing Barisan Bukit Menoreh yang lebih tinggi dari bukit-bukit yang ada di depan mata kami. Meninggalkan rasa penasaran pada kami bentuk dari lansekap tanah borneo seutuhnya.
0 komentar